Menjelang Sepuluh Hari Terakhir

Menjelang Sepuluh Hari Terakhir

Laylatul Qadar adalah malam pentakdiran. Tentu beda orang yang malam itu beribadah dengan mereka yang bermaksiat.

Jika Anda bertarawih di mushalla atau masjid tradisional, maka pada hari-hari ini ayat Alquran yang dibaca setelah Al Fatihah telah berganti. Dalam setiap rakaan pertama dari salat tarawih --setelah Al Fatihah-- imam akan membaca surat Surat Al Qadr. Surat Al Qadr memang amat dianjurkan untuk senantiasa dibaca pada setiap shalat di bulan Ramadhan ini.

Bagi Muslim tradisonal di perkampungan, selepas malam ke-15, mereka telah bersiap menyongsong datangnya Lailatul Qadar yang diisyaratkan datang pada sepuluh malam terakhir di bulan mulia ini. Maka masjid makin ramai dengan orang beri'tikaf. Tak sedikit yang bertahan di masjid untuk bermunajat, berdzikir dan membaca Alquran.

Malam laylatul Qadar sendiri merupakan malam yang diberkati. Malam itu mulia karena malam itu merupakan malam pentakdiran, di mana Allah memperbarui takdir hamba-Nya. Malam itu mulia karena nilainya lebih dari seribu bulan. Malam itu juga dimuliakan karena malam itu adalah malam turunnya Alquran. Malam itu juga mulia karena malam itu, Allah menurunkan malaikat Jibril (ruh al quds) ke dunia.

Tapi kehadiran malam itu secara persis tidak dinyatakan secara jelas pada malam ke berapa ia diturunkan. Hanya secara samar diisyaratkan bahwa malam Laylatul Qadar jatuh pada sepuluh malam terakhir pada bulan Ramadhan.

''Tentu berbeda orang yang pada malam-malam di bulan Ramadhan beribadah dengan orang yang bermaksiat,'' kata Dr.Umar Shahab dari Pusat Spiritual Fitrah beberapa waktu lalu. Karena itu, ia menganjurkan, sesibuk apapun seorang umat hendaknya mengisi malam-malam terakhirnya dengan serius. ''Tak ada alasan karena sibuk bekerja atau lelah yang lain. Ini malam mulia. Isilah dengan ibadah sebaik-baiknya,'' katanya beberapa waktu lalu.

Membahas tentang takdir menurut dia tentu akan bersinggungan pada perbedaan tentang bagaimana Allah menakdirkan. Namun, katanya, merujuk pada ayat Alquran, Allah tidak akan mengubah nasib satu kaum hingga ia mengubahnya sendiri. Jadi, katanya, dalam urusan takdir, manusia juga ikut berperan.

Mengenai ibadah yang utama dilakukan pada malam-malam sepuluh malam terakhir adalah ibadah dalam konteks ritual dan sosial. Ritual dalam arti beribadah, berdzikir, membaca Alquran, memperbanyak shalat, sholawat dan lainnya.

Dalam konteks sosial, maka pada sepuluh malam terakhir amat dianjurkan untuk memperluas rizki kepada orang lain yang membutuhkan. Esensi dari puasa adalah kepedulian sosial. Karena itu amat dianjurkan untuk berbagi pada malam-malam ini.

Ibadah lain yang tak kalah penting adalah menuntut ilmu. Majelis ilmu adalah majelis yang amat mulia yang dilakukan pada bulan Ramadhan. Terlebih pada malam-malam Qadar. ''Semua bisa dilakukan bersamaan. Tinggal pilih-pilih waktunya.''

Menyia-nyiakan sepuluh malam terakhir amat disayangkan. Karena kesempatan belum tentu datang dua kali. Bila mereka yang beribadah memperoleh nilai berganda, mereka yang bermaksiat pun memperoleh ganjaran dosa berganda. Karena itu tiadakan kegiatan yang sia-sia apalagi menjurus maksiat.

Pemimpin Pesantren Alquran Babussalam Bandung KH Muchtar Adam mengatakan di kota suci Mekkah sepuluh malam terakhir adalah puncak dari Ramadhan. ''Jika melakukan umrah laylatul qadar akan menyaksikan betapa padatnya Masjidil Haram,'' katanya. Kepadatan Masjidil Haram pada sepuluh malam terakhir hanya bisa dibandingkan dengan kepadatan puncak musim haji.

''Jamaah dari seluruh dunia menanti malam Laylatul Qadar di sana,'' katanya. Karena itu shalat tarawih dan shalat malamnya, meskipun berjam-jam lamanya, tetap diminati. Orang penuh sesak. Pada malam ke-27, kata dia, dianggap sebagai malam Laylatul Qadar. Malam itu bertepatan dengan khatamnya Imam membaca Alquran dan melanjutkannya dengan doa yang diiringi dengan berurai air mata. (RioL)
(tid )

*) Dikutip dari Swaramuslim